Seperti pagi hari biasanya, ku memulai melangkahkan kaki menerjang ruang kelasku
dengan melewati lorong-lorong bangunan lantai 1, bersama teman-temanku. Akupun tak
tahu mengapa jika aku sedang berjalan dengan ketiga temanku yaitu viola, gracia,
dan vania pasti selalu saja teman yang lain tunduk dihadapanku seperti layaknya
akulah sang ratu dalam kerajaan SMP kami. Apa mungkin karena aku anak seorang artis?
Tapi entahlah, aku tak terlalu menghiraukannya. Aku merasa seperti layaknya orang-orang
biasa saja. Aku tergolong siswa yang berprestasi disekolah karena aku selalu saja
mendapat pujian dari guru karena setiap nilai yang kudapatkan dalam masing-masing
mata pelajaran, padahal aku mengira bahwa dirikulah murid terbodoh dalam sekolah
ku. Akupun menjadi terkenal dan selalu saja diikutkan perlombaan antar sekolah oleh
guruku hingga tingkat provinsi pun ku hantam walau hanya mendapat harapan, bukan
juara. Mungkinkah ini yang membuat diriku memiliki banyak teman? Tapi aku tak pernah
memikirkan ini sebelumnya karena aku merasa bahwa diriku telah nyaman dalam kehidupanku
yang bebas dan mewah seperti ini dan aku tak ingin memikirkan hal yang macam-macam.
Bel tanda pulang pun berbunyi. Aku dan teman-temanku
memutuskan untuk membawa mobil baru hadiah dari orang tuaku lusa berjalan-jalan
ke sebuah mall besar dikotaku. Aku selalu saja begitu, setiap hariku dipenuhi dengan
shoping shoping dan shoping tanpa mempedulikan orang tuaku, karena aku berpikir
bahwa aku anak tunggal yang terlantar dengan orang tuaku yang tak pernah mempedulikanku
serta mereka yang selalu saja berurusan dengan dunia karirnya.
Hingga suatu saat aku menyadari bahwa apa
yang aku perbuat adalah kesalahan yang amat sangat fatal. Mamah dan papah telah
dijemput oleh sang maha kuasa untuk kembali ke alam yang sebenarnya. Mamah tertidur
selamanya bersamaan dengan papah saat mereka pulang ke Indonesia karena transportasi
yang mereka pakai menabrak gunung saat akan mendarat. Saat pemakaman mereka, aku
terbisu. Handphone yang kupegang mendarat diatas tanah yang berbaur dengan bunga.
Aku merasa bahwa aku telah kehabisan air mata dan tak dapat mengatakan sepatah kata
apapun kecuali doa. Aku masih amat sangat bersalah kepada mereka karena aku belum
sempat untuk meminta maaf kepada mereka dan juga aku belum bisa membahagiakannya.
Kini aku tak memliki siapapun lagi kecuali paman
dan bibi pembantuku. Sekarang aku baru merasakan betapa sakitnya perasaan ini, hatiku
serasa beku seperti es namun banyak sekali api yang berkobar disekitarnya bukan
salju yang dingin atau angin yang sejuk. Aku merasa dirikulah yang jatuh dari pesawat,
bukan mamah atau papah.
“Tuhan, aku titip mereka dipelukanmu. Tolong
bahagiakan mereka dengan cara-Mu dan tempatkanlah mereka disisi terbaikmu. Buat
mereka selalu tersenyum. Aku menyayangi mereka, tapi aku rela jika aku harus melepasnyanamun
mereka bahagia. Tuhan, kumohon, bisikan padanya bahwa hati ini tak akan pernah berhenti
menyayangi mereka dan pikiran ini tak akan pernah melupakan mereka.” Hanya itu sepatah
doa yang aku bisa ucapkan untuk mamah dan papah walau hanya dalam hati.
Semua pelayat telah pulang, hanya tinggal aku,
paman, dan bibi. Paman dan bibi mengajakku untuk pulang. Tetapi, aku merasa kakiku
sangat susah untuk melangkah karena aku berpikir bahwa semua harta mamah dan papah
telah disita untuk melunasi hutang-hutang perusahaanya. Kini aku tak tahu harus
tinggal dimana dengan modal uang hanya 100 juta untuk kehidupanku selamanya. Syukurlah,
paman dan bibi mengizinkanku untuk tinggal bersama mereka berdua namun jika aku
mau. Mau tak mau aku harus mau tinggal bersamanya dengan kehidupan yang serba terbatas,
dibanding aku hidup seorang diri entah dimana.
Malam ini mungkin malam dimana aku memulai hidup
baru tanpa mamah dan papahku. Aku mulai menyalakan handphone yang sedari tadi tak
berguna di saku bajuku. Aku menekan ikon pesan dan aku memulai menulis sebuah pesan
“Guys, tahukah kalian berapa lama masa yang kita lalui bersama? Tapi aku tak ingin
tahu, karena kalian selamanya bagiku. Bersama kalian, tangisku terurai menjadi tawa
dukaku kan terpecah menjadi bahagia dan airmata yang terlanjur jatuh takkan berubah
menjadi nestapa. Bersama kalian, kepenatanku tergilas sirna. Terkadang, disuatu
waktu, prasangka pernah menjauhkan kalian dariku. Tapi sungguh, amarah takkan bertahan
lama dikalbuku. Ku merasa kalian adalah teman terbaikku tetapi dimanakah kalian
sore tadi? Mengapa disaat ku butuhkan kalian, kalian malah tak disisiku? “ aku mulai
mengirim pesan tersebut kepada ketiga teman-temanku, namun tak satupun dari mereka
yang membalasnya. Aku merasa kecewa, tetapi aku tak ingin berburuk sangka kepada mereka. Akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mataku.
Sang surya mulai menunjukan dirinya. Aku mulai untuk
beraktivitas. Kali ini, aku berangkat sekolah tanpa kendaraan karena jarak sekolah
dengan rumah cukup dekat. Aku mulai melangkahkan kaki menuju ruang kelas setelah
kakiku melewati pintu gerbang sekolah. Kini, tak ada lagi orang yang tunduk kepadaku.
Apabila aku lewat didepan mereka, mereka hanya berbisik bisik dengan teman sebelahnya
dan sesekali melirikku tajam. Hanya guru-guru saja yang mengucapkan bahwa mereka
ikut berduka cita. Vania, viola dan gracia kini tak menjadi teman dekatku lagi.
Mereka tak pernah menghampiriku lagi dikelas. Aku hanya seorang diri bagai burung
yang sudah tak bisa terbang karena sayap yang patah. Selagi pelajaran dimulai, aku
tak memperhatikannya sama sekali, entah apa yang diajarkan oleh guru di depan. Aku
hanya bisa melamun dan sesekali mencoret-coret bukuku. Bel istirahat berbunyi, aku
memutuskan pergi ke perpustakaan membawa diary ku dan sebuah pulpen merah. Aku bingung
aku hendak berbuat apa. Tak ada lagi teman yang mau berteman denganku. Mungkin karena
aku telah jatuh miskin. Hal itu membuat aku membuatku mencoretkan sesuatu di
diary ku.
“Hmm.. mungkin tidak akan ada yang tau bagaimana
perasaanku selama ini. Entah sebenarnya aku ada atau tidak. Mungkin aku terlihat
tangguh, tapi sebenarnya tidak, aku lemah namun aku tidak ingin terlihat lemah.
Mungkin benar firasatku bahwa aku tidak pernah yakin suatu saat nanti ada orang
yang bisa mengerti bagaimana perasaanku ini bahkan orang-orang terdekatku. Tapi
aku yakin jika mamah dan papahku mengeti bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Mungkin
aku lebih baik hidup tanpa teman namun bahagia. Dibandingkan hidup seperti ini
yang selalu dikhianati oleh teman yang paling dekat denganku. Entah apa yang mereka
mau. Mungkin juga memang diriku yang menyebalkan atau aku yang telah jatuh miskin
dan tidak sebanding lagi dengan mereka. Bila aku boleh jujur, aku ingin untuk
keluar dari sekolah ini dan pindah kesekolah biasa namun bisa mendapat teman
yang banyak. Tapi semua mustahil, aku tak ada uang lagi untuk mendaftar sekolah.
Takkan ada yang namanya teman sejati. Disaat ku senang mereka ikut senang denganku,
namun entah kemana mereka saat aku sedang terpuruk dalam kesedihan.Apa semua ini
adil? Atau hanya sebenarnya aku hidup ditempat yang salah? Mungkin suatu saat nanti
aku akan mencoba pergi kesebuah tempat dimana aku dapat mencari tempat yang benar-benar
damai dan tentram dimana setiap orang saling menghargai satu sama lain. Jika itu
ada, aku akan mengunjunginya dan bahagia disana. Kuharap ku menemukan tempat tersebut
secepatnya. “ kutulis diaryku hingga bel masuk berbunyi. Aku kembali ke kelas dan
mulai mengikuti pelajaran seperti biasa lagi hingga bel pulang berbunyi.
Hari demi hari terus berjalan. Tetap saja tak ada
teman yang mendekatiku. Aku hidup dalam kebosanan setiap hari. Aku sadar bahwa hidupku
didunia sia-sia tanpa teman. Besok adalah hari ulang tahunku ke 14 tahun. Aku mengharapkan
jika di ulang tahunku yang ke-14 aku menemukan tempat dimana aku bisa bersama orang-orang
yang menyayangiku. Hampir setiap hari aku mengungkapkan perasaanku hanya kepada
diaryku.
Hari ini hari dimana aku berumur 14 tahun. Namun
hanya paman dan bibi saja yang mengucapkannya. Aku menjadi semakin rindu mamah dan
papah. Sehingga suatu waktu dimana aku pulang dari sekolah, aku mengalami kecelakaan
parah. Hanya ada beberapa orang yang menolongku dan itupun sudah terlambat. Aku
tertidur untuk selamanya menyusul mamah dan papahku dan aku benar-benar telah menemukan
tempat dimana aku mendapat kebahagiaan dimana takan ada lagi teman yang menyakitiku
dan aku bisa bertemu dengan papah dan mamah lagi.
Aku mulai menyadari pada ketika aku sukses, akhirnya teman-temanku tahu siapa aku sebenarnya. Dan ketika aku gagal, aku tahu siapa teman-temanku sebenarnya.
Aku mulai menyadari pada ketika aku sukses, akhirnya teman-temanku tahu siapa aku sebenarnya. Dan ketika aku gagal, aku tahu siapa teman-temanku sebenarnya.
0 komentar:
Posting Komentar